Semoga bermanfaat...

Senin, 08 Desember 2014

HUJAN KEMARIN

Selamat datang hujan...
Seketika aku menghentikan langkahku ketika ribuan air itu turun dengan sangat lembut. Hujan, ini pertama kalinya ia turun di musim ini. Aku merasakan bau tanah yang harum, seakan mereka benar-benar mendapatkan apa yang mereka inginkan selama ini. Aku menegadahkan kedua tanganku, merasakan lembutnya percikan air yang datang berduyun-duyun membasahi bumiku. Tiba-tiba aku tersentak. Aku teringat dia yang menjadi alasanku mengapa aku hujan-hujan seperti ini. Segera tak kuhiraukan ribuan air yang masih saja turun dan mulai membasahi tubuhku, dengan bersemangat, aku pun bergegas lari.
            Dia adalah Aldi, seseorang dengan segala kesibukannya yang selama ini menjadi alasanku tetap bersemangat melawan apapun yang menjadi hambatan dalam hidupku. Ya, dialah semangatku, dia yang selalu menyuruhku makan, dia yang selalu mulai berisik ketika aku pulang larut malam, dia yang selalu menyuruhku menyiram bunga di pagi hari, dan dialah telingaku, yang selalu mendengarkan ceritaku, keluh kesahku, dan apapun itu. Aku memilikinya, begitupun dia meskipun kata yang melambangkan itu tak pernah keluar dari mulutku ataupun mulutnya. Kami menjalaninya seperti layaknya daun yang terbang terbawa angin. Yang kami tau, kami saling menyayangi, sejak pertama kali kami bertemu. Kami berdua bersahabat.

            Dia terlampau sibuk dengan urusan organisasinya, sehingga seringkali ia tak memperhatikan tubuhnya yang memang sudah kurus. Aku benci ketika mendengar dia belum sempat makan, untuk itu aku relakan melawan ribuan hujan yang sudah membasahi tubuhku ini, untuk mengantarkan makan siangnya. Terkesan berlebihan memang, namun aku senang menjalaninya.
            Ketika kulangkahkan kakiku menuju ke pelataran kampusnya, tak kulihat satu pun mahasiswa yang lalu lalang, mungkin mereka mencari tempat yang teduh menghindari percikan hujan yang menurutku sangat indah ini. Baru ketika aku memasuki gazebo kampus, aku melihat segelintir orang yang asyik dengan kegiatan masing-masing. Beberapa kali kutengok ke kanan dan ke kiri, namun tak kulihat sosoknya yang seharusnya mudah terlihat. Baru setelah aku melewati bangku panjang di jarak beberapa meter, aku menemukan sosoknya. Aku terpaku, terdiam, tiba-tiba saja rahangku terkatup, namun aku masih sanggup menopang makan siang yang mulai basah oleh air hujan. Apa yang kulihat saat ini benar-benar lebih dari mimpi buruk dalam tidurku. Separuh jiwaku hilang ketika kulihat ia sedang tidur di pangkuan seorang gadis cantik nan jelita dengan rambut panjang yang indah, lebih dari itu, ia sedang melakukan yang tak bisa kujelaskan. Aku memilih diam dan segera beranjak dari tempatku berdiri, namun seperti ada magnet di kakiku sehingga aku tak kuasa mengangkat kakiku untuk pergi.
            Setelah beberapa saat, dia menyadari kedatanganku dan tentu saja terkejut, begitupun gadis cantik itu. Aku lemah, butiran air hangat dari mataku menyatu dengan dinginnya air hujan di pipiku.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku berusaha tegar.
Entah apakah dia menjawab atau tidak, yang kudengar hanyalah ribuan tetes hujan yang mencoba menembus atap di atas kepalaku.
Aku berhasil melangkahkan kakiku beberapa langkah ke belakang dan bergegas beranjak bangun dari mimpi burukku. Tangannya meraihku, aku tak sanggup menatap lagi, mata itu terlalu menusukku. Kubiarkan tangannya masih memegang tanganku, namun dia paham, akhirnya dia melepaskanku. Entah melepaskanku untuk pergi dari sini, atau dari kehidupannya, selamanya. Tidak, aku tak berani membayangkannya. Kulanjutkan langkah kakiku dengan perasaan yang tak bisa kulukiskan. Masih tarus berjalan, aku seperti kehilangan tujuan pulang. Ya, aku kehilangan arah. Aku hanya perlu berjalan dan terus berjalan, berharap hujan ini membawaku jauh dari apa yang baru saja kulihat.
Jauh beberapa meter di belakangku, Aldi masih saja terdiam. Mencoba mencerna apa yang baru saja ia lakukan padaku, pada hati yang tak pernah lelah memberinya semangat. Suara gemuruh dalam hatinya mungkin saja mengalahkan suara hujan yang sedang turun berduyun-duyun derasnya. Ia mencoba bangkit dan ingin mengejarku. Ia meraih sepedanya dan bergegas mengayuhnya.
Ia sampai di depan tempat tinggalku, namun langkahku masih teringgal jauh di belakang, entah kemana. Ia mencoba memanggilku, temanku keluar, namanya Sari. Ia terkejut melihat Aldi yang basah kuyup, entah oleh hujan atau air bening dari matanya.
“Kenapa kau seperti ini? Di mana Nunu? Bukankah dia tadi mengantarkan makan siang untukmu?”.
Aldi menyadari bahwa aku belum sampai di rumah. Dia terduduk sambil memandang rintikan hujan yang tak kunjung berhenti. Ia tak menghiraukan pertanyaan temanku, sementara Sari yang cerewet terus membanjirinya pertanyaan. Ia menutup mata dan telinganya, yang ia pikirkan hanyalah diriku, kemana aku, mengapa aku belum juga kembali.
Sementara aku, asyik bermandikan hujan aku terus melangkah entah kemana, namun pada akhirnya kakiku lelah juga. Kuputuskan untuk kembali ke rumah. Sesampainya di depan rumah, aku melihat sosok itu, sosok yang baru saja merusak istanaku yang indah. Aku tak menghiraukannya, dia mencoba meraihku, namun aku enggan. Sementara itu, Sari kebingungan melihat situasi seperti ini, ia pun terdiam dan ikut masuk bersamaku.
Setelah membersihkan diri, dengan efek flu yang melanda akibat hujan-hujanan, aku merenung di dalam kamar. Mengapa aku bertindak seperti ini? Bukankah selama ini kita bersahabat baik? Bukankah seharusnya aku senang melihat dia bahagia? Tetapi mengapa rasanya sesakit ini? Ah mungkinkah aku??? Aku tak sanggup melanjutkan itu. Baiklah, aku harus menemuinya besok.
Melihatku yang tak kunjung keluar, akhirnya Aldi memutuskan untuk pulang ke rumah. Entah mengapa ia jadi merasa sangat bersalah padaku. Dia bertekad keras untuk meminta maaf besok.
Keesokan paginya aku dan Aldi bertemu. Entah mengapa rasanya sedikit caggung, namun aku mencoba tegar dan ceria.
“Maaf”, kata kita bersamaan.
“Maaf, aku tak bermaksud membuatmu menangis, maaf aku tak bermaksud mengabaikan makan siang yang kau bawa kemarin, maaf aku tak membawakan payung untukmu kemarin, maaf...”, lanjut Aldi.
“Begitupun aku, tak pernah bermaksud mengganggumu kemarin, aku hanya takut kamu lupa makan, aku hanya takut kamu akan sakit, aku hanya takut tak akan ada lagi yang menyuruhku menyiram bunga itu, maaf seharusnya aku bahagia untukmu...”.
Seperti sebelum-sebelumnya kita tak pernah menghadapi situasi seserius ini, kita pun tertawa.
“Jadi, kau memaafkanku?”, tanyanya.
Aku hanya mengangguk kecil, dia pun merengkuhku dalam pelukannya. Ada rasa sesak di dalam ruang dadaku, sakit. Aku mencoba tersenyum. Akhirnya kita kembali seperti sedia kala, tapi tidak untukku. Mugkinkah dia merasakannya? Ah aku tak ingin memperburuk keadaan, aku tak ingin jauh darinya.
Ternyata hujan kemarin memberiku kenangan yang amat tidak kuharapkan, berharap hujan selanjutnya aku menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya, dan aku selalu berdoa agar dia, sahabatku selalu bahagia.
Waktu berlalu begitu cepat, tak ada rintikan hujan menemani hari-hariku. Sedikit bersyukur karena hujan membawa kenangan yang sama sekali tak ingin kuingat, selamanya. Kita masih sama, layaknya sahabat yang selalu menghabiskan waktu bersama, bercanda bersama, makan bersama, dan melakukan banyak hal bersama. Bedanya, aku kini lebih membatasi persaanku terhadap dia, aku tak ingin menunjukkan perasaanku yang sebenarnya kepadanya. Mengapa rasanya menjadi cinta yang bertepuk sebelah tangan? Tidak, aku mencoba berpikir positif, rasa sayangku wajar untuknya sebagai sahabat, sama seperti rasa sayangku kepada sahabatku yang lain, Sari misalnya.
Bulan Oktober tiba, tahun ke dua puluhku.
Malam ini menunjukkan pukul 22:59 menit, saat ini sedang turun hujan kedua setelah hujan kemarin. Rupanya dedaunan menari-nari merayakan kegembiraannya, mereka selama ini mendambakan hujan. Tepat beberapa jam lagi ibuku akan segera mengenalkanku pada dunia yang terang benderang ini, ya dua puluh tahun yang lalu.
Aldi menemuiku malam ini, menjemputku menuju ke suatu tempat yang ku tak tahu di mana. Hujan telah reda. Dia menutup mataku menggunakan kain dan mendudukkanku di atas sebuah bangku yang menurutku sedikit dingin, aku seperti sedang di atas awan dengan semilir angin yang mungkin bisa menembus tulang terdalamku. Aku hanya bisa menebak pasti Aldi memberikan kejutan ulang tahun kepadaku. Diam sesaat...
Ia mulai bicara...
“Maaf hujan kemarin aku membuatmu kecewa,
Maaf hujan kemarin aku membuatmu menangis,
Maaf hujan kemarin aku membuatmu berlari,
Maaf hujan kemarin membuat hatimu terluka,
Maaf hujan kemarin tak memakan makan siangmu,
Maaf hujan kemarin membuatmu flu,
Dan maaf hujan kemarin aku tak jujur kepadamu...”
Aku mulai mendengar suaranya agak bergetar, dia diam sedikit agak lama. Lalu ia pun mancoba melanjutkan.
“Nunu... maaf atas segala kejadian hujan yang lalu. Saat ini, ku mempersembahkan hujan sebagai pengganti hujan kemarin. Aku ingin bilang, aku menyayangimu sama seperti hujan kemarin. Aku menyayangimu jauh sebelum hujan itu datang. Terima kasih kau mengertiku selama ini, terima kasih kau tak mengungkit hujan waktu itu. Terima kasih....”.
Aku tak bisa berbohong, air mata ini tumpah juga, sama seperti air matanya.
“Bolehkah aku menjadi payungmu ketika hujan?”.
Kata-kata itu begitu sederhana tapi menggetarkan. Lewat mataku yang tertutup aku melihat sorot matanya yang bersungguh-sungguh. Bibirku bungkam tak bersuara, akhirnya aku hanya mampu mengangguk. Dia pun membuka penutup mataku, kami tertawa seperti biasa. Aku mencoba mengusap air mata di pipinya. Lalu dia menyodorkan kue ulang tahun bertuliskan angka dua puluh yang indah dengan api yang menyala.
“Selamat ulang tahun hujan, semoga ia membuatmu lebih dewasa”.
Aku tersenyum dan meniup lilin harapan hujan itu.
Sesaat setelah itu, hujan turun. Kita pun masuk ke dalam untuk menikmati malam dan hujan yang mendewasakan kita. Kami tertawa bersama...
Tekadang kita sering sekali membenci datangnya hujan, namun hujan tak selamanya menyusahkan. Adakalanya hujan benar-benar memberikan kebahagiakan untuk kita. Sama seperti saat ini, rintikan-rintikan hujan yang membasahi bumiku ini, sama seperti rintikan-rintikan kasih sayangku yang akan selalu harum di bumi hatinya.

Terima kasih hujan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar