Selamat datang hujan...
Seketika aku menghentikan langkahku ketika ribuan
air itu turun dengan sangat lembut. Hujan, ini pertama kalinya ia turun di
musim ini. Aku merasakan bau tanah yang harum, seakan mereka benar-benar
mendapatkan apa yang mereka inginkan selama ini. Aku menegadahkan kedua
tanganku, merasakan lembutnya percikan air yang datang berduyun-duyun membasahi
bumiku. Tiba-tiba aku tersentak. Aku teringat dia yang menjadi alasanku mengapa
aku hujan-hujan seperti ini. Segera tak kuhiraukan ribuan air yang masih saja
turun dan mulai membasahi tubuhku, dengan bersemangat, aku pun bergegas lari.
Dia
adalah Aldi, seseorang dengan segala kesibukannya yang selama ini menjadi alasanku
tetap bersemangat melawan apapun yang menjadi hambatan dalam hidupku. Ya,
dialah semangatku, dia yang selalu menyuruhku makan, dia yang selalu mulai
berisik ketika aku pulang larut malam, dia yang selalu menyuruhku menyiram
bunga di pagi hari, dan dialah telingaku, yang selalu mendengarkan ceritaku,
keluh kesahku, dan apapun itu. Aku memilikinya, begitupun dia meskipun kata
yang melambangkan itu tak pernah keluar dari mulutku ataupun mulutnya. Kami
menjalaninya seperti layaknya daun yang terbang terbawa angin. Yang kami tau,
kami saling menyayangi, sejak pertama kali kami bertemu. Kami berdua
bersahabat.
Dia
terlampau sibuk dengan urusan organisasinya, sehingga seringkali ia tak
memperhatikan tubuhnya yang memang sudah kurus. Aku benci ketika mendengar dia
belum sempat makan, untuk itu aku relakan melawan ribuan hujan yang sudah
membasahi tubuhku ini, untuk mengantarkan makan siangnya. Terkesan berlebihan
memang, namun aku senang menjalaninya.
Ketika
kulangkahkan kakiku menuju ke pelataran kampusnya, tak kulihat satu pun
mahasiswa yang lalu lalang, mungkin mereka mencari tempat yang teduh
menghindari percikan hujan yang menurutku sangat indah ini. Baru ketika aku
memasuki gazebo kampus, aku melihat segelintir orang yang asyik dengan kegiatan
masing-masing. Beberapa kali kutengok ke kanan dan ke kiri, namun tak kulihat
sosoknya yang seharusnya mudah terlihat. Baru setelah aku melewati bangku
panjang di jarak beberapa meter, aku menemukan sosoknya. Aku terpaku, terdiam,
tiba-tiba saja rahangku terkatup, namun aku masih sanggup menopang makan siang
yang mulai basah oleh air hujan. Apa yang kulihat saat ini benar-benar lebih
dari mimpi buruk dalam tidurku. Separuh jiwaku hilang ketika kulihat ia sedang
tidur di pangkuan seorang gadis cantik nan jelita dengan rambut panjang yang
indah, lebih dari itu, ia sedang melakukan yang tak bisa kujelaskan. Aku
memilih diam dan segera beranjak dari tempatku berdiri, namun seperti ada
magnet di kakiku sehingga aku tak kuasa mengangkat kakiku untuk pergi.
Setelah
beberapa saat, dia menyadari kedatanganku dan tentu saja terkejut, begitupun
gadis cantik itu. Aku lemah, butiran air hangat dari mataku menyatu dengan
dinginnya air hujan di pipiku.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku berusaha tegar.
Entah apakah dia menjawab atau tidak, yang kudengar
hanyalah ribuan tetes hujan yang mencoba menembus atap di atas kepalaku.
Aku berhasil melangkahkan kakiku beberapa langkah ke
belakang dan bergegas beranjak bangun dari mimpi burukku. Tangannya meraihku,
aku tak sanggup menatap lagi, mata itu terlalu menusukku. Kubiarkan tangannya
masih memegang tanganku, namun dia paham, akhirnya dia melepaskanku. Entah
melepaskanku untuk pergi dari sini, atau dari kehidupannya, selamanya. Tidak,
aku tak berani membayangkannya. Kulanjutkan langkah kakiku dengan perasaan yang
tak bisa kulukiskan. Masih tarus berjalan, aku seperti kehilangan tujuan
pulang. Ya, aku kehilangan arah. Aku hanya perlu berjalan dan terus berjalan,
berharap hujan ini membawaku jauh dari apa yang baru saja kulihat.
Jauh beberapa meter di belakangku, Aldi masih saja
terdiam. Mencoba mencerna apa yang baru saja ia lakukan padaku, pada hati yang
tak pernah lelah memberinya semangat. Suara gemuruh dalam hatinya mungkin saja
mengalahkan suara hujan yang sedang turun berduyun-duyun derasnya. Ia mencoba
bangkit dan ingin mengejarku. Ia meraih sepedanya dan bergegas mengayuhnya.
Ia sampai di depan tempat tinggalku, namun langkahku
masih teringgal jauh di belakang, entah kemana. Ia mencoba memanggilku, temanku
keluar, namanya Sari. Ia terkejut melihat Aldi yang basah kuyup, entah oleh
hujan atau air bening dari matanya.
“Kenapa kau seperti ini? Di mana Nunu? Bukankah dia
tadi mengantarkan makan siang untukmu?”.
Aldi menyadari bahwa aku belum sampai di rumah. Dia
terduduk sambil memandang rintikan hujan yang tak kunjung berhenti. Ia tak
menghiraukan pertanyaan temanku, sementara Sari yang cerewet terus
membanjirinya pertanyaan. Ia menutup mata dan telinganya, yang ia pikirkan
hanyalah diriku, kemana aku, mengapa aku belum juga kembali.
Sementara aku, asyik bermandikan hujan aku terus
melangkah entah kemana, namun pada akhirnya kakiku lelah juga. Kuputuskan untuk
kembali ke rumah. Sesampainya di depan rumah, aku melihat sosok itu, sosok yang
baru saja merusak istanaku yang indah. Aku tak menghiraukannya, dia mencoba
meraihku, namun aku enggan. Sementara itu, Sari kebingungan melihat situasi
seperti ini, ia pun terdiam dan ikut masuk bersamaku.
Setelah membersihkan diri, dengan efek flu yang
melanda akibat hujan-hujanan, aku merenung di dalam kamar. Mengapa aku
bertindak seperti ini? Bukankah selama ini kita bersahabat baik? Bukankah
seharusnya aku senang melihat dia bahagia? Tetapi mengapa rasanya sesakit ini?
Ah mungkinkah aku??? Aku tak sanggup melanjutkan itu. Baiklah, aku harus
menemuinya besok.
Melihatku yang tak kunjung keluar, akhirnya Aldi
memutuskan untuk pulang ke rumah. Entah mengapa ia jadi merasa sangat bersalah
padaku. Dia bertekad keras untuk meminta maaf besok.
Keesokan paginya aku dan Aldi bertemu. Entah mengapa
rasanya sedikit caggung, namun aku mencoba tegar dan ceria.
“Maaf”, kata kita bersamaan.
“Maaf, aku tak bermaksud membuatmu menangis, maaf
aku tak bermaksud mengabaikan makan siang yang kau bawa kemarin, maaf aku tak
membawakan payung untukmu kemarin, maaf...”, lanjut Aldi.
“Begitupun aku, tak pernah bermaksud mengganggumu
kemarin, aku hanya takut kamu lupa makan, aku hanya takut kamu akan sakit, aku
hanya takut tak akan ada lagi yang menyuruhku menyiram bunga itu, maaf
seharusnya aku bahagia untukmu...”.
Seperti sebelum-sebelumnya kita tak pernah
menghadapi situasi seserius ini, kita pun tertawa.
“Jadi, kau memaafkanku?”, tanyanya.
Aku hanya mengangguk kecil, dia pun merengkuhku
dalam pelukannya. Ada rasa sesak di dalam ruang dadaku, sakit. Aku mencoba
tersenyum. Akhirnya kita kembali seperti sedia kala, tapi tidak untukku.
Mugkinkah dia merasakannya? Ah aku tak ingin memperburuk keadaan, aku tak ingin
jauh darinya.
Ternyata hujan kemarin memberiku kenangan yang amat
tidak kuharapkan, berharap hujan selanjutnya aku menemukan kebahagiaan yang
sesungguhnya, dan aku selalu berdoa agar dia, sahabatku selalu bahagia.
Waktu berlalu begitu cepat, tak ada rintikan hujan
menemani hari-hariku. Sedikit bersyukur karena hujan membawa kenangan yang sama
sekali tak ingin kuingat, selamanya. Kita masih sama, layaknya sahabat yang
selalu menghabiskan waktu bersama, bercanda bersama, makan bersama, dan
melakukan banyak hal bersama. Bedanya, aku kini lebih membatasi persaanku
terhadap dia, aku tak ingin menunjukkan perasaanku yang sebenarnya kepadanya.
Mengapa rasanya menjadi cinta yang bertepuk sebelah tangan? Tidak, aku mencoba
berpikir positif, rasa sayangku wajar untuknya sebagai sahabat, sama seperti
rasa sayangku kepada sahabatku yang lain, Sari misalnya.
Bulan Oktober tiba, tahun ke dua puluhku.
Malam ini menunjukkan pukul 22:59 menit, saat ini
sedang turun hujan kedua setelah hujan kemarin. Rupanya dedaunan menari-nari
merayakan kegembiraannya, mereka selama ini mendambakan hujan. Tepat beberapa
jam lagi ibuku akan segera mengenalkanku pada dunia yang terang benderang ini,
ya dua puluh tahun yang lalu.
Aldi menemuiku malam ini, menjemputku menuju ke
suatu tempat yang ku tak tahu di mana. Hujan telah reda. Dia menutup mataku
menggunakan kain dan mendudukkanku di atas sebuah bangku yang menurutku sedikit
dingin, aku seperti sedang di atas awan dengan semilir angin yang mungkin bisa
menembus tulang terdalamku. Aku hanya bisa menebak pasti Aldi memberikan
kejutan ulang tahun kepadaku. Diam sesaat...
Ia mulai bicara...
“Maaf hujan kemarin aku membuatmu kecewa,
Maaf hujan kemarin aku membuatmu menangis,
Maaf hujan kemarin aku membuatmu berlari,
Maaf hujan kemarin membuat hatimu terluka,
Maaf hujan kemarin tak memakan makan siangmu,
Maaf hujan kemarin membuatmu flu,
Dan maaf hujan kemarin aku tak jujur kepadamu...”
Aku mulai mendengar suaranya agak bergetar, dia diam
sedikit agak lama. Lalu ia pun mancoba melanjutkan.
“Nunu... maaf atas segala kejadian hujan yang lalu.
Saat ini, ku mempersembahkan hujan sebagai pengganti hujan kemarin. Aku ingin bilang,
aku menyayangimu sama seperti hujan kemarin. Aku menyayangimu jauh sebelum
hujan itu datang. Terima kasih kau mengertiku selama ini, terima kasih kau tak
mengungkit hujan waktu itu. Terima kasih....”.
Aku tak bisa berbohong, air mata ini tumpah juga,
sama seperti air matanya.
“Bolehkah aku menjadi payungmu ketika hujan?”.
Kata-kata itu begitu sederhana tapi menggetarkan.
Lewat mataku yang tertutup aku melihat sorot matanya yang bersungguh-sungguh.
Bibirku bungkam tak bersuara, akhirnya aku hanya mampu mengangguk. Dia pun
membuka penutup mataku, kami tertawa seperti biasa. Aku mencoba mengusap air
mata di pipinya. Lalu dia menyodorkan kue ulang tahun bertuliskan angka dua
puluh yang indah dengan api yang menyala.
“Selamat ulang tahun hujan, semoga ia membuatmu
lebih dewasa”.
Aku tersenyum dan meniup lilin harapan hujan itu.
Sesaat setelah itu, hujan turun. Kita pun masuk ke
dalam untuk menikmati malam dan hujan yang mendewasakan kita. Kami tertawa
bersama...
Tekadang kita sering sekali membenci datangnya
hujan, namun hujan tak selamanya menyusahkan. Adakalanya hujan benar-benar
memberikan kebahagiakan untuk kita. Sama seperti saat ini, rintikan-rintikan
hujan yang membasahi bumiku ini, sama seperti rintikan-rintikan kasih sayangku
yang akan selalu harum di bumi hatinya.
Terima kasih hujan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar