“Dunia pasti berputar....
Ada saatnya semua harus berubah
Ringan pasti bertukar kita harus siap hadapi semua
Ikhlaskan segalanya jalani semua yang ada di
dunia...”
Itulah bait terakhir yang baru saja selesai ku nyanyikan.
Rasa haus tiba-tiba menyerang kerongkongan dan gitar usang yang kubeli di pasar
loak ini. Kucoba raih plastik dalam saku celanaku dan aku mulai menengadah ke
barisan orang-orang yang tengah duduk berdesakan di dalam bus kota. Dalam udara
yang penuh sesak keringat oleh tubuh yang berdesakan ini, aku berjuang keras
mangangkat kaki dan badan ini untuk bisa meraih kepingan-kepingan koin receh
itu. Aku selesai, dan aku pun turun dari bus. Aku menepi ke pinggir jalan lalu
duduk bersila memandangi ribuan kendaraan yang berlalu lalang seperti ribuan
cacing-cacing yang sedang berdemo di dalam perutku untuk minta makan. Ya, aku
sangat lapar. Kucoba keluarkan pecahan-pecahan logam di dalam plastik yang baru
saja kusodorkan kepada mereka, kuhitung tiap kepingnya, ada lima ratus perak,
seribu, bahkan seratus perak. Rupanya hari ini salah satu keberuntunganku, aku
mendapatkan sepuluh ribu rupiah, jauh lebih banyak dari sebelumnya, dan aku
amat bersyukur.
Dengan rasa bahagia yang tiada terkira itu, aku
berlar mencari sosok kecil mungil yang menjadi alasanku masih bertahan dalam
kehidupan yang selalu mencengkram seluruh jiwa dan ragaku di atas bumi ini. Aku
menemukannya, ia sedang duduk bersandar pada tiang lampu pemberhentian
kendaraan, dengan tumpukan koran yang tak ingin ia lepaskan sedetik pun kecuali
ada yang memberinya uang. Ya, Rian, adik kecilku seorang penjual koran di
tengah jalan saat lampu merah menyala. Dia sebenarnya masih bersekolah di
sekolah dasar swasta di desaku yang kecil. Namun, terkadang dia malas untuk
bertemu teman-temannya yang dianggapnya berbeda dengan dirinya, lantas ia
selalu menemaniku menyusuri jalan kehidupan yang penuh gelombang dan batu
kerikil yang tajam ini. Sebenarnya aku tak ingin membiarkan adik kecilku ikut
terjun ke dalam lumbung derita keluargaku, namun aku sangat memahami keinginan
adik kecilku itu, karena aku amat sangat menyayanginya.
Hari mulai siang dan amat panas, aku menghampirinya,
mengajaknya untuk pulang. Muka polos penuh kelelahan itu selalu menggelitikku
untuk membelikannya sekadar es krim murahan di pinggir terminal, dan seperti
biasa dia selalu tampak gembira dengan senyum dan lesung pipinya yang amat
dalam dan manis. Sepanjang perjalanan kita selalu terlibat perbincangan yang
sama.
“Kakak, hari ini dapat berapa?” tanyanya polos.
“Coba kakak hitung ya.....” dan aku pun mengitung.
“Dua puluh ribu rupiah.” jawabku kemudian.
“Adik dapat sedikit kak, cuma delapan ribu.” katanya
agak kecewa.
Aku tak ingin membuatnya bersedih dengan
penghasilannya.
“Lho kok mukanya sedih? Delapan ribu itu banyak,
Dik. Coba kakak tanya, delapan ribu sama enam ribu banyak mana?” tanyaku
sedikit bercanda.
“Enam ribu, eh delapan ribu, Kak.” jawabnya setelah
ia membolak-balikkan jarinya.
“Eh kok adik kakak pintar berhitung ya,” kataku
memujinya.
“Seberapa yang kita dapat, adik harus ingat, semua
ini rezeki dari Alloh, jadi harus disyukuri. Harus bilang apa kalau begitu?”
tanyaku.
“Alhamdulillah...” jawabnya.
“Adik kakak memang pintar, harus begitu ya.” kataku
sambil mengusap kepalanya.
Pembicaraan berakhir, kami pun melanjutkan
perjalanan yang sebentar lagi menemukan ujungnya.
Kami sampai di rumah setelah sekitar tiga puluh
menit berjalan. Sesampainya di rumah, seperti biasa adikku langsung menuju
kamar mandi untuk melepas keringat-keringat yang sedari tadi membasahi badannya
yang terbungkus kain tipis. Aku melongok ke dalam kamar mendapati ruangan masih
tetap kosong dan sunyi seperti biasanya, kamar ibuku. Lantas aku kembali ke
teras rumah dan duduk memandangi rerumputan yang bergoyang ketika sang angin
datang melintas.
Aku merenung, ini tentang tujuh bulan yang lalu.
Ketika penderitaan keluargaku dimulai. Betapa hinanya aku di hadapan-Nya ketika
aku menyebut ini sebagai penderitaan, namun apa daya memang itulah
kenyataannya. Semua ini bermula dua bulan sebelum aku menghadapi ujian nasional
tingkat SMA. Ketika itu aku dan adikku sedang bermain-main di halaman rumah
mendengar kabar dari salah satu tetangga kami bahwa kedua orang tua kami
mengalami sebuah kecelakaan bus yang ditumpanginya kembali ke rumah setelah
menempuh perjalanan dari kota. Bus itu menabrak pembatas jalan dan akhirnya
jatuh ke subuah sungai. Banyak korban jiwa dalam kecelakaan itu, termasuk kedua
orang tuaku. Jenazah ayahku ki ketemukan di sekitar sungai tempat bus itu
tenggelam, sedangkan ibuku... bahkan sampai detik ini dia tidak ada kabar, dia
menghilang, mungkin hanyut, atau termakan sesuatu. Para warga sudah memastikan
ibuku hanyut dan meninggal, namun aku masih selalu setia menunggu kehadirannya,
di tengah-tengah penderitaan kami, dan berharap mengentasku dan juga adikku
dari jurang kemiskinan ini. Seketika aku mendapati kenyataan pahit itu, aku
sangat terpukul sampai aku tak mau sekolah selama satu bulan, hingga aku
berhasil lulus SMA. Bagaimana kenyataan itu harus menghampiriku? Mengapa harus
aku? Mengapa harus dengan adikku? Beribu pertanyaan itu tak ada yang mempu
menjawab. Kini, aku hidup bersama adikku yang berusia sembilan tahun tanpa
ayah, tanpa ibu, tanpa saudara, sendiri dalam sepi, hanya ada segelintir
tetangga yang terkadang merasa iba, bahkan terkadang dengan mulut-mulutnya yang
menganga, aku diolok-oloknya. Setiap pagi aku harus menyiapkan sarapan untuk
adikku sebelum ia masuk sekolah. Ya, sekolah. Sejak kecelakaan itu, keluargaku
benar-benar miskin, dan aku harus berjuang sendiri menghidupi diriku dan
adikku. Beruntung adikku masih bisa bersekolah, walaupun aku harus menelan
pahit kenyataan aku tak bisa meneruskan sekolahku. Sempat aku berpikir untuk
lari dari kenyataan ini, ikut menghilang bersama ibuku, atau bersama angin yang
biasa lewat di depan rumahku. Namun jika aku pergi, siapa yang merawat adik
kecilku. Sampai aku putuskan untuk tetap bertahan. Selama aku masih bernapas,
aku akan melakukan apapun yang terbaik untuk adik kecilku.
Lanunanku tiba-tiba buyar ketika adikku keluar dari
rumah dengan baju koko putih bersih dan sarung yang kedodoran.
“Kakak, ini sudah hampir pukul empat, kok kakak
belum siap?” tanyanya.
“Aduh, maaf Dik, kakak lupa. Sebentar ya, adik pergi
saja dulu.” Kataku kemudian.
Di waktu sore seperti ini, aku diamanahi warga
desaku untuk mengajar ngaji para anak kecil yang tinggal di sekitar masjid. Aku
senang berada di sekeliling mereka, berbagi ilmu, berbagi canda tawa, berbagi
cerita, dan berbagi penderitaan. Ya, mereka sangat menginspirasi, mereka juga
yang menjadi alasanku masih tetap bertahan di sini. Mereka sangat lucu dan
pintar mengaji. Banyak dari mereka yang bernasib sama sepertiku. Terkadang aku
berpikir, di atas penderitaan mereka, mereka masih bisa tertawa lepas dan
selalu bahagia. Mereka menjadi alasanku untuk ikut bahagia juga.
Selepas mengajari anak-anak mengaji, aku dan adikku biasa
sholat berjamaah di masjid. Di sana kami bertemu para tetangga yang sering
menanyakan kabar keluargaku.
“Dik Nina, bagaimana kabar adikmu?”, tanya Ibu
Risma.
“Oh alhamdulillah baik, Bu. Semoga selalu baik.”
Sahutku tersenyum.
“Oh iya, ini ada titipan dari ibu-ibu arisan
kemarin, mohon diterima ya?”, katanya sambil menyodorkan selembar amplop.
“Ini untuk keperluan sekolah adikmu, Nin.”
tambahnya.
Seketika aku langsung mencium tangan Ibu Risma sambil
berterima kasih. Terkadang aku memang butuh uang untuk melengkapi keperluan
hidup keluargaku. Namun, ketika aku menerima uang dari ibu-ibu seperti ini,
terkadang ada mereka yang menghina, mengolok-olok keluargaku, dikata pengemis
lah, peminta-minta lah, sama seperti saaat ini, tiba-tiba Ibu Wati muncul dari
belakang sambil mencibir.
“Kok ada ya pengemis yang pura-pura mengajari ngaji
anak-anak, bagaimana kalau anak-anak itu diajari mengemis?” tanyanya pada diri
sendiri.
Mungkin itu hanya sekilas cibiran yang biasa aku
terima.
Kami yang mendengar cibiran itu hanya bisa
beristighfar. Tuhan menciptakan telingaku begitu kuat, sehingga sampai detik
ini telingaku tak pernah bosan mendengar ocehannya.
“Kamu harus sabar ya, Nin. Mungkin Bu Wati hanya iri
melihat pekerjaan kamu, kamu tahu sendiri kan, dia juga seorang pengamen tetapi
tak seberuntung kam.” hibur Bu Risma.
“Insyaalloh saya sabar, Bu.” Sahutku tersenyum.
Dalam hatiku sempat marah dikatakan seperti itu,
namun apa daya, aku hanya gadis ringkih yang tak bisa berbuat apa-apa. Memang
Bu Wati sering mencibirku seperti itu, dia iri karena aku seorang pengamen, aku
hanya bisa meminta-minta lewat suaraku, namun sedikit beruntung mempunyai
kesempatan untuk belajar mengaji bersama anak-anak di desaku. Tapi sebenarnya
kenapa harus iri kepada pengamen sepertiku? Jika dengan pengamen sepertiku saja
dia iri, begaimana dengan mereka yang lebih dari pengamen? Aku berani bertaruh,
mungkin Bu Wati tidak segan-segan hanya sekadar mencibir.
***
Keesokan harinya, aku kembali beraktivitas seperti
biasa, namun aku memaksa adikku untuk berangkat sekolah, dengan berbagai
ancaman yang kuberikan kepadanya, akhirnya ia mau berangkat ke sekolah.
“Adikku, berangkat sekolah ya, belajar yang rajin,
kakak berjanji jika pulang nanti membelikan adik mainan baru. Adik mau?”
tanyaku dengan penuh pengharapan pagi ini mendapatkan rezeki yang banyak agar
bisa membelikan adikku mainan baru.
“Iya kakakku yang cantik.” sahut adikku sambil
memintaku berjongkok dan mencium pipiku, lalu berlari ke luar rumah.
Ya, dia bersemangat sekali hari ini, itu artinya aku
juga harus bersemangat menyambut pagi ini.
Seperti biasa aku memasuki bus satu ke bus yang
lain. Hari ini hari libur, pantas saja bus tampak ramai sekali. Kulihat barisan
gadis-gadis cantik membawa tas besar duduk di setiap tempat yang ada di dalam
bus. Aku mengira pasti mereka mahasiswa yang sedang dalam perjalanan pulang
kampung. Sempat aku membayangkan aku berada di antara mereka. Jujur saja,
sampai saat ini aku masih ingin bersekolah, mendapat gelar mahasiswa seperti
gadis seusiaku pada umumnya. Mungkin mimpiku terlalu jauh, jangankan untuk
bersekolah, untuk makan pun kami masih meminta.
Aku mengakhiri pekerjaanku karena aku sedikit tidak
enak badan, aku pun pulang ke rumah dan ingin sesegera mungkin merebahkan
tubuhku di atas tempat tidur reot penuh debu di dalam kamar. Sesampainya di
rumah, betapa terkejutnya ketika kudapati rumah kami berantakan seperti kapal
pecah. Dunia seketika berhenti berputar, kulihat Ibu Wati sedang
mengobrak-abrik rumahku tanpa sebab. Ketika meyadari kedatanganku, dia beranjak
pergi begitu saja. Aku melongo, aku marah, aku kecewa, aku sedih, aku tak bisa
melukiskan perasaanku ketika kulihat buku sekolah adikku dihamburkan ke tanah
yang kotor dan berdebu. Dia tak tahu bagaimana perjuanganku membeli semua
barang itu. aku mulai merasa bosan dan emosiku memuncak. Aku ingin menjerit,
berlari sekencang-kencangnya dari halaman ini. Aku mencari ibu, entah kemana.
Bibirku bergetar, air bening bercucuran dari mataku, membentuk sebuah danau di
lembah pipiku. Aku masih terus berlari, mengejar bayang-bayang ibu yang seakan
mengajakku untuk berada di sampingnya. Aku memanggilnya “Ibuuuuuuu......” namun
yang kulihat bayang-bayang itu semakin menjauh. Aku masih terus berlari,
meninggalkan serpihan penderitaan yang mungkin akan dilihat adikku sebentar
lagi di rumah. Aku semakin menjauh.
Aku sampai pada pusara ayahku. Aku duduk tertunduk
di atas gundukan tanah yang mulai basah oleh gerimis lembut yang seolah
mengiringi rintikan air mataku. Aku menangis sebisaku. Aku memanggila nama
ayah, aku memanggil nama ibu. Namun hanya sunyi yang kudengar, hanya sepi yang
kudapat.
“Ayah.... mengapa kau biarkan aku seperti ini. Aku bosan
ayah, aku ingin ikut bersamamu, aku ingin selalu di sampingmu ayah....” rupanya
gerimis mendengar rintihan air mataku, kini berubah menjadi hujan.
Aku masih tetap di sana, menghabiskan waktuku
bersama ayah, yang kuingat dulu selalu menyisirkan rambutku ketika aku hendak
pergi bersekolah, memboncengkanku di atas sepeda bututnya yang kini masih
tersimpan rapi di dalam kamarnya, aku masih ingat ketika beliau mengantarkanku
ke sekolah dan membuat teman-temanku iri melihatnya. Aku masih mengingat itu
dengan jelas, Ayah. Hujan semakin lebat ketika aku merintih lagi memanggil ibu.
“Ibuuuuu.... mengapa kau tak bawaku ikut bersamamu,
mengapa kau biarkan aku menanggung semua ini sendiri, mengapa ibu? Mengapa???”
aku masih terisak.
Aku lemah, aku lesu, aku amat lelah, dan aku lapar.
Kubiarkan guyuran hujan malam ini membasahi seluruh jiwa dan ragaku, berharap
ia membawa serta penderitaanku hanyut bersamanya, mengalir bersaanya, ke
sungai, sampai ke laut, dan dibawa oleh sinar matahari.
***
Kurasakan panas menembus pori-pori tubuhku. Tubuhku
remuk, rupanya hujan semalam berhasil menusuk tulangku, mematikan semua
sendi-sendiku. Aku membuka mata dan dengan sekuat tenaga aku mencoba berdiri,
namun gagal. Tiba-tiba aku ingat Rian, adik kecilku. Astaga, aku meninggalkannya
semalaman. Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia sudah makan? Aku mencoba
bangkit, dengan sempoyongan aku berjalan meninggalkan pusara ayahku. Kurasakan
jarak tempat ini sangat jauh dengan rumahku. Aku berjuang keras, dengan kaki
yang hampir lumpuh oleh penderitaan, dengan pakaian compang camping yang hampir
tak berbentuk oleh kerasnya kehidupan, aku terus melangkah.
Sampai di depan rumah, kulihat rumah yang terakhir
kutinggalkan masih berantakan, kini sudah rapi kembali. Ketika ku memasuki
ruang tamu, kulihat adikku berlari ke dalam pelukanku disusul oleh Ibu Risma,
yang memang sudah menganggap keluargaku seperti keluarganya. Rian menangis
tanpa mengucapkan apapun. Aku menciumnya, mengelus-elus kepalanya, aku menyesal
meninggalkannya.
“Maafkan kakak, Dik. Kakak meninggalkanmu semalam.
Kamu baik-baik saja? Kamu sudah makan? Apakah tidurmu nyenyak semalam?” tanyaku
disertai dengan tangisku, tangis Rian, tangis Bu Risma, dan mungkin tangis
rerumputan di depan rumah yang menjadi saksi bisu pertemuan ini.
Kemudian kami duduk, Bu Risma paham dengan
keadaanku. Ia hanya menghampiriku dan berbisik pelah di telingaku, “Kamu harus
sabar, dunia ini memang kejam, namun akan lebih kejam jika kamu membiarkannya
lebih kejam lagi. Ingat Nina, dunia ini tidak diam, tapi dunia ini berputar.”
Aku mengangguk mendengar nasehat singkatnya.
“Sudah, kau bersihkan diri dulu di kamar mandi.
Nanti ibu siapkan sarapan untuk kamu.” Tambahnya.
Aku tak menyahut dan langsung menuju kamar mandi. Aku
membasuh seluruh badanku, berharap penderitaanku juga terbasuh, lenyap dan
hilang terbawa air. Setelah aku meyelesaikan mandiku, aku masuk kamar dan
berbaring menatap lagit-langit yang pernah kujelaskan sebelumnya, gelap dan
berlubang.
Setelah beberapa lama kupejamkan mata, aku mendengar
pintu diketuk. Namun mataku enggan untuk terbuka, tanganku enggan untuk
bergerak, dan tulang-tulangku enggan membangunkan tubuhku. Ya, aku menutup
mata, selamanya....
***
Aku mendengar riuh suara warga memenuhi rumahku, tak
tertinggal suara tangisan Rian, adikku meronta-ronta memanggil namaku. Lalu
kurasakan seseorang menggendongku, menelanjangiku, dan tangan-tangan itu
menggerayangi seluruh tubuhku, aku sedang dimandikan. Kemudian, mereka
memberikan wewangian di sekujur tubuhku dan juga membalutku dengan kain yang
lembut, yang tak kutahu apa warnanya dan bagaimana bentuknya, yang aku tahu,
ini bukan semacam baju. Lalu sepertinya beberapa orang menggotongku kembali dan
memasukanku ke dalam sebuah keranjang yang harum, kudengar orang-orang
meneriakan nama tuhanku. Sekarang, aku seperti berada di dalam masjid, sunyi
dan tenang. Kudengar imam membacakan bacaan-bacaan sholat di depanku. Setelah
mereka selesai sholat, mereka menggotongku kembali entah kemana. Aku merasakan
ini tanah lapang, kemudian mereka menyebut nama tuhanku kembali. Kali ini
mereka menggotongku dan mengeluarkanku dari keranjang yang sedari tadi menjadi
tempat tidurku. Kemudian merebahkanku di atas sesuatu yang dingin. Ya, sangat
dingin dan harum bau tanah. Aku sadar, kini aku di atas tanah. Lalu kudengar
seorang bapak-bapak membacakan adzan untukku. Kemudian yang terakhir, aku
ditindih oleh tumpukkan tanah yang sama dinginnya. Kini aku benar-benar
tersadar, aku telah terkubur.
“Rian yang manis, sekarang pulang ke rumah Ibu ya,
kakak kamu sudah tenang di alam sana. Rian harus ikhlas, sekarang Rian punya
Ibu. Ya?” kudengar suara Ibu Risma membujuk Rian untuk pulang.
“Iya, Bu. Tapi Rian ingin sama kakak Nina.” sahut
adikku bergetar. Rupanya ia telah memahami arti kehilangan, arti ditinggalkan.
Kelak ia akan mengetahui arti kehidupan yang sesungguhnya. Aku tak mendengarnya
lagi, aku mengira mereka telah pergi, meninggalkanku sendiri di sini.
“Kamu baik-baik ya nak di sana, Ibu akan selalu
mendoakanmu, dan akan selalu menjaga Rian.” Itu kata terakhir yang kudengar.
Ada yang tidak mengetahui mengapa kisahku berakhir
tragis seperti ini, aku memendamnya dari mereka. Mereka tak pernah tahu, di
balik senyum yang selalu menghiasi wajahku, aku terluka, aku menderita. Mereka
tak pernah tahu bagaimana hidup ini terlalu menekanku sampai aku berakhir
seperti ini.
Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi setelah
ini. Aku tak akan pernah tahu bagaimana namaku dikenang di sana. Aku tak akan
pernah tahu Rian, adikku akan menjadi seperti apa nantinya. Aku tak akan pernah
tahu bagaimana Ibu Risma menyayangi Rian, mengasihi adik kecilku. Aku tidak
akan pernah tahu bagaimana hidup ini akan berjalan. Yang aku tahu, dunia ini
tidak akan pernah diam tapi ia terus berputar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar